Selasa, 10 Februari 2015

Kasus JIS: Sebuah Catatan (1)

“Mak, lebih baik saya mati daripada mengakui
perbuatan yang tidak pernah saya lakukan.”
Azwar kepada ibunya


Saya perlu menulis catatan ini, karena merasa memiliki kewajiban moral untuk melakukannya. Pada waktu kasus dugaan kekerasan seksual di JIS (Jakarta International School, sekarang Jakarta Intercultural School) mencuat pertama kali, banyak orang mengutuk para pelakunya. Berbagai media memberitakan kasus itu dengan masif, dan bisa dibilang semua orang mempercayainya. Bahwa telah terjadi kasus kekerasan seksual terhadap anak di TK JIS.

Tak jauh beda dengan kebanyakan orang lain, saya juga mengutuk kasus itu, dan menghakimi para pelakunya, bahkan sempat berdoa semoga mereka dihukum seberat-beratnya. Karena kasus itu melibatkan anak-anak sebagai korban, saya pun intensif membaca berita-berita yang beredar. Selama waktu-waktu itu, saya membaca ratusan artikel menyangkut berita tersebut, sejak pertama kali mencuat sampai perkembangan terakhir. (Total artikel yang sempat saya baca mungkin lebih dari 500 judul, yang dirilis puluhan web/portal.)

Pada perkembangannya kemudian—seiring kasus itu terus bergulir sampai ke pengadilan—muncul berbagai kejanggalan, bahkan hal-hal yang tak masuk akal. Seiring bukti-bukti yang dipaparkan, kasus yang semula tampak sangat meyakinkan perlahan-lahan makin aneh dan janggal, hingga menerbitkan kecurigaan sebagian orang bahwa telah terjadi rekayasa. Jika sebelumnya hampir semua orang percaya telah terjadi kasus kekerasan seksual di JIS, sekarang banyak yang mulai meragukan, karena bukti-bukti yang ada tidak mendukung kenyataan itu.

Dari banyak orang yang meragukan kenyataan kasus tersebut, saya termasuk di antaranya. Berdasarkan artikel-artikel berita yang terus saya ikuti, saya makin tidak yakin kasus itu benar-benar terjadi. Dugaan terjadinya kasus kekerasan seksual di JIS makin tampak kabur, sementara orang-orang yang semula dituduh sebagai pelaku kejahatan dari kasus itu bisa jadi justru merupakan korban.

Karena latar belakang itulah, saya merasa perlu menulis catatan ini—meski mungkin telah terlambat—sebagai bentuk kewajiban moral saya akibat dulu sempat berburuk sangka kepada orang-orang yang dituduh sebagai para pelaku kejahatan di JIS. Sebagai sesama manusia, saya pernah menghakimi mereka. Karena penghakiman itu rupanya keliru, saya merasa perlu meluruskannya.

Catatan cukup panjang ini menguraikan banyak hal janggal dan aneh dalam kasus dugaan kekerasan seksual di JIS, dengan banyak detail penting yang perlu diperhatikan dan dicermati. Karenanya, saya sangat menyarankan agar kalian membaca catatan ini secara runtut, cermat, dari awal sampai akhir. Catatan dan uraian ini direkonstruksi dari berbagai artikel yang saya baca seputar kasus di JIS, yang sebagian daftarnya saya tulis terpisah di sini.

***

Satu tahun yang lalu, sekitar Maret 2014, Indonesia digemparkan berita menyangkut dugaan kasus kekerasan seksual di TK JIS. Seorang anak berinisial AK alias MAK (yang waktu itu berumur 5 tahun) diduga sebagai korban, dan ibunya melaporkan kasus itu ke polisi. Kasus itu segera mencuat, dan menjadi buah bibir banyak orang, karena melibatkan sekolah yang sangat terkenal ketat penjagaan dan pengawasannya. Lalu perjalanan kasus itu pun bergulir dengan cepat, seiring media-media di Indonesia yang terus memberitakannya dengan gegap gempita.

Berdasarkan laporan ibu MAK, polisi lalu menangkap Agun (25 tahun), Virgiawan (20 tahun), Afriska (24 tahun), Zaenal (28 tahun), Syahrial (20 tahun), dan Azwar (27 tahun). Keenam orang itu merupakan para petugas kebersihan di TK JIS, yang dicurigai sebagai para pelaku dugaan kasus kekerasan seksual yang menimpa MAK di sekolahnya.

Sebelum masuk lebih dalam, mari kita lihat proses penangkapan Afriska, yang menjadi salah satu tersangka kasus itu.

Afriska ditangkap di rumah kontrakannya, di daerah Cinere, Depok, pada Jumat, 25 April 2014. Enam polisi berpakaian bebas mendatangi kontrakan itu, dua di antaranya polisi wanita. Pada waktu itu, Afriska tidak ada di tempat. Baru sekitar pukul 18:30 WIB, dia datang mengendarai sepeda motor, dan polisi yang menunggunya segera menghampiri. Lalu mereka berbicara di dalam kontrakan selama beberapa menit. Setelah itu, Afriska dibawa para polisi tersebut.

Imas, pemilik kontrakan yang ditinggali Afriska, menceritakan, “Dia (Afriska) tidak diborgol. Wajahnya biasa—datar-datar saja. Dia tidak terlihat sedih atau menangis.” 

Belakangan, diketahui bahwa penangkapan para tersangka kasus itu tidak dilengkapi surat penangkapan. Bahkan mereka merasa dijebak saat penangkapan, karena dibohongi bahwa penjemputan dirinya untuk urusan pekerjaan. Zaenal, salah satu tersangka, menceritakan, “Saya tahunya disuruh atasan saya membersihkan kelas yang di JIS Cilandak, kok tahu-tahu dibawa ke Polda Metro Jaya.”

Ketika sampai di Polda, Zaenal mendapati teman-temannya telah ada di sana, dengan pengalaman yang sama, yaitu ditangkap tanpa surat perintah resmi penangkapan.

Lalu sesuatu terjadi di kantor polisi, dan kita tidak tahu apa saja yang terjadi di sana. Yang jelas, pada 26 April 2014, salah satu tersangka, yaitu Azwar, kemudian tewas. Polisi menyatakan bahwa Azwar bunuh diri dengan meminum cairan pembersih lantai yang ada di toilet. Perihal bunuh diri itu tidak pernah jelas, karena sampai saat ini tidak pernah dilakukan visum terhadap jasad Azwar. Namun, pada 3 November 2014, pukul 22.00, stasiun televisi swasta TV One, dalam program acara Di Balik Tabir, menyiarkan foto mayat Azwar yang hancur dan lebam.

Armani, sepupu Azwar, menjelaskan kondisi Azwar kepada wartawan Tempo yang menemuinya, “Wajahnya bengkak, kedua pipinya lebam, dan alis kirinya juga lebam.”

Haris Ashar dari KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), menyatakan, “Kasus JIS kembali mempertontonkan kepada kita bagaimana sebuah rekayasa terjadi. Kematian seorang pekerja kebersihan JIS dengan muka lebam menjadi bukti bahwa tindak kekerasan oleh polisi itu nyata terjadi.”

Haris Ashar juga menyatakan, “Karena polisi berada di bawah koordinasi langsung presiden, Bapak Jokowi seharusnya juga mencermati kasus ini. Dengan kondisi polisi saat ini, masyarakat semakin takut berhubungan dengan polisi, karena polisinya sendiri menunjukkan ketidaktaatannya pada hukum. Kasus JIS adalah salah satu bukti tindakan polisi yang tidak profesional, dan memaksakan sebuah kasus dari fakta yang lemah.”

Kepada KontraS, istri Syahrial menuturkan kisahnya ketika menemui suaminya di tempat tahanan, “Waktu itu saya lihat dengan mata kepala sendiri, suami saya semuanya habis, badannya pada sakit semua, lebam. Ada stapler di kupingnya, dia dipaksa untuk mengakuinya (melakukan kekerasan seksual). Dari jam 9 malam sampai jam 3 pagi disekap, supaya mengakui. Saya sampai tidak mengenali itu suami saya.”

Tak jauh beda dengan istri Syharial, istri Agun juga mengungkapkan pada KontraS, bahwa dia mendapati suaminya dalam keadaan babak belur sehari setelah penahanan. Dia menceritakan, “Penangkapan tanggal 3 April 2014, atasannya datang ke rumah, bilang suami (ditangkap) karena melakukan kekerasan. Kakak ipar besok paginya menjenguk, tapi suami saya udah babak belur, di matanya, di badannya, semua lebam. Hari Senin saya baru ke sana, luka-lukanya sudah hitam.”

(Lebih lanjut, untuk mengetahui nasib para tersangka selama proses penyelidikan dan penyidikan di kantor polisi, kalian bisa membaca artikel-artikel berita yang telah saya lampirkan di sini.)

Sekarang kita masuk pada penuturan ibu MAK yang diduga menjadi korban kekerasan seksual di JIS. Saat memberi kesaksian di pengadilan, ibu MAK menyatakan bahwa MAK trauma berat pada tanggal 18-20 Maret 2014, setelah mengalami kekerasan seksual oleh Azwar, Syahrial, dan Zainal, pada tanggal 17 Maret 2014 pukul 10:00 WIB. Kemudian, pada 21 Maret 2014 pukul 10:00 WIB, menurut ibu MAK, anaknya kembali mengalami kekerasan seksual oleh empat orang, yaitu Azwar, Zainal, Virgiawan, dan Syahrial.

Tetapi, berdasarkan foto-foto di JIS yang diambil pada tanggal-tanggal tersebut, kondisi MAK tampak ceria, sedang bermain dengan teman-teman sekelasnya. MAK sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda trauma seperti yang disampaikan ibunya. Anak itu bahkan tampak asyik bermain-main perosotan dengan teman-temannya, dengan keceriaan khas anak-anak, dengan rona wajah penuh kegembiraan.

(Catatan: Di TK JIS, aktivitas-aktivitas yang dilakukan di sekolah—khususnya aktivitas para murid—selalu dipantau, bahkan ada petugas khusus yang selalu memotret aktivitas-aktivitas mereka, dari waktu ke waktu.)

Patra M. Zen, pengacara tersangka kasus itu, memperlihatkan foto-foto tersebut di pengadilan, dan menyatakan, “Inilah foto MAK yang diambil oleh seorang guru yang memang bertugas untuk memotret kegiatan para siswa. Foto pertama, diambil tanggal 18 Maret, MAK sedang bermain perosotan. Satunya lagi tertanggal 19 Maret, MAK sedang berenang. Berdasarkan laporan ibu korban, MAK disodomi pada tanggal 18 Maret di toilet sekolah. Dan kata ibu korban, MAK tidak mau pakai celana, tidak mau basah. Tapi ternyata MAK tetap melakukan kegiatan. Ia tetap berenang dan main perosotoan. Foto-foto itu memperlihatkan anak tersebut bahagia.”

Lanjut ke sini.

 
;